Oleh : Cut Zuriana
( Dosen Sendratasik
FKIP Unsyiah)
KEPRIHATINAN TERHADAP TARI TRADISIONAL ACEH : Gadoh Aneuk Meupat
Jeurat, Gadoh Adat pat Tamita. Begitu ungkapan narit maja orang Aceh tempo
dulu. Narit maja di atas menyiratkan makna yang sangat mendalam agar adat dan
kebudayaan dijaga dan dilestarikan. Pesan tersebut juga membandingkan betapa
besarnya harga dan nilai adapt dan budaya. Dalam tulisan ini, penulis hanya
mengajak kita semua untuk merenung kembali kenyataan dan keprihatinan terhadap
tari tradisional Aceh, sudah berkurang atau sudah bertambahkah tari tradisional
Aceh?
Kita semua dapat melihat tradisional Aceh masih ditarikan,
masih diajarkan dan bahkan sudah mendunia. Tetapi, kita jangan menutup mata
terhadap semua persoalan terhadap eksistensi tari tradisional Aceh dewasa ini.
Tari tradisional Aceh sudah kehilangan rohnya. Mengapa hal itu terjadi? Inilah
yang harus kita pikirkan bersama, mulai dari pelaku seni, pengajar tari, dan
instansi terkait.
Dalam peluncuran buku The
Musical Journeys in Sumatra karangan Profesor Margaret J. Katomi Faha, Dr.
Phil. Di perpustakaan Unsyiah, lantai III pada 23 November 2012 yang
diprakarsai oleh pusat pengkajian seni Unsyiah. Prof Dr Bahren T Sugihen MA
sebagai salah seorang pembedah buku tersebut mengungkapkan keprihatinan
terhadap tari ranup lampuan yang ditarikan dewasa ini. Menurut Prof Bahren,
tari ranup lampuan yang ditarikan sekarang telah kehilangan rohnya sebagai tari
penyambutan tamu. Penampilan tari tersebut, menurut dia, sudah menyimpang atau
bertolak belakang dengan budaya Aceh. “Tari ranup lampuan tidak perlu adanya
saweran/pemberian uang,” begitu tukas Prof Bahren.
Selain ketimpangan tersebut di atas, tari ranup lampuan juga
telah mengalami banyak penyimpangan lain, baik dari segi gerak dan tat arias.
Dari segi gerak dapat dilihat pada tidak adanya keseragaman gerak antara
kelompok tari yang satu dengan kelompok tari lainnya. Hal ini dapat dilihat,
diantaranya pada gerak melangkah (Ada
yang menghentakkan kaki dan ada yang melangkah biasa). Pada gerak memetik sirih
dan mengancip pinang (Ada
kelompok yang melakukan dan ada pula yang tidak melakukannya).
Pada tat arias juga bertolak belakang dengan tat arias yang
keacehan. Hal ini dapat dilihat pada tat arias sanggul yang sebagian besar
menaikkannya atau ditinggikan. Selain itu, pada tata rias sanggul juga terdapat
banyak asesoris, sehingga kelihatannya seperti putrid bunga, yang lebih ironis
lagi sirih pun diselipkan di kepalanya.
Kejanggalan lainnya juga dapat diamati dari jumlah penari. Ada kelompok tertentu yang menarikan tari ranup lampuan
hanya lima
orang. Penampilan tersebut mengurangi kemeriahan tari ranup lampuan sebagai
tari penyambutan tamu. Tari ranup lampuan seharunya ditarikan oleh 9 orang atau
7 orang.
Ketidak konsistenan itu telah menimbulkan pengikisan
nila-nilai budaya dari sebuah tari. Atau dengan kata lain, tari ranup lampuan
telah kehilangan rohnya sebagai tari pemulia jamee. Karena menurut orang aceh,
“Mulia jamee ranup lampuan, mulia rakan mameh suara.”
Dalam diskusi peluncuran buku Profesor Margaret, salah
seorang peserta juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap adanya seudati
inong dan saman inong. Menurut Armia SPd Mhum, seudati inong dan saman inong
tidak sesuai dengan adapt budaya Aceh. Dikatakan Armia, budaya Aceh tidak dapat
dipisahkan dengan Islam. “Lagee zat ngon sifeut,” tukasnya. Armia
mempertanyakan tari tradisional tersebut. Dia juga mengutip syair lagu Liza
Aulia yang bunyinya, “Jak keuno rakan tajak meunari, tameuseudati tap eh-peh
dada.” Jelaslah gerakan-gerakan dalam tari saman tidak wajar dilakukan oleh
penari inong.
Pada kesempatan lain, hal senada juga diungkapkan oleh Dr
Rajab Bahry MPd, salah seorang tokoh Gayo dan pelatih tari saman. Dikatakan
bahwa tari saman juga tidak etis ditarikan oleh perempuan. Kenyataan tersebut
telah menguatkan hasrat penulis untuk memandang bahwa tari seudati dan tari
saman tidak wajar di tarikan oleh perempuan.
Tari tradisional Aceh dewasa ini sudah mulai bergeser
keberadaan nilai tradisinya. Hal ini disebabkan oleh munculnya ide-ide kreasi
dari teman-temanyang berkecimpung dalam berkesenian Aceh. Kreasi-kreasi itu
sangat kita hargai, tetapi hendaknyatidak mencemari tradisi.
Praktik penyimpangan itu juga terjadi saat pertukaran budaya
dengan mahasiswa jurusan Dance Course of Art (DCA) Universitas Deaking Autralia
yang belajar tari seudati di sanggar seni Lempia, Taman Budaya, Banda Aceh,
Jumat, 23 November. (Serambi Indonesia,
24 November 2012). Tari seudati dalam tampilan pada Serambi Indonesia tersebut ditarikan oleh
penari perempuan. Memang tidak ada efeknya bagi penari asing, namun telah
terjadi kesalahan persepsi dalam memahami budaya Aceh. Kondisi demikian, baik
disadari atau tidak, telah mencemari roh tari seudati sebagai cerminan budaya
Aceh.
Sumber : Koran Serambi
Indonesia,
Minggu 25 November 2012, Hal 2
Title : KEPRIHATINAN TERHADAP TARI TRADISIONAL ACEH
Description : Oleh : Cut Zuriana ( Dosen Sendratasik FKIP Unsyiah) KEPRIHATINAN TERHADAP TARI TRADISIONAL ACEH : Gadoh Aneu...