Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya
wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas
seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:
Didong (seni pertunjukan dari masyarakat Gayo)
Meuseukee Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat) Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)
Sastra
Bustanussalatin
Hikayat Prang Sabi
Hikayat Malem Diwa
Legenda Amat Rhah manyang
Legenda Putroe Neng
Legenda Magasang dan Magaseueng
Senjata tradisionalRencong
adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila
dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah.
Rencong termasuk dalam kategori dagger ataubelati (bukan pisau ataupun
pedang).
Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti siwah, geuliwang dan peudeueng.
Rumah tradisional Aceh di Museum Aceh
Rumah
tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah
panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama
dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh
(serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1
bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).
TarianProvinsi Aceh yang memiliki setidaknya 10 suku
bangsa, memiliki kekayaan tari-tarian yang sangat banyak dan juga sangat
mengagumkan. Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan
bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Aceh, seperti Tari Rateb
Meuseukat dan Tari Saman.
Tarian Suku Aceh
Tari Laweut
Tari Likok Pulo
Tari Pho
Tari Ranup Lampuan
Tari Rapai Geleng
Tari Rateb Meuseukat
Tari Ratoh Duek
Tari Seudati
Tari Tarek Pukat
Tarian Suku Gayo
Tari Saman
Tari Bines
Tari Didong
Tari Guel
Tari Munalu
Tari Turun Ku Aih Aunen
Tarian Suku Lainnya
Tari Ula-ula Lembing
Tari Mesekat
Kepercayaan dan Seni Budaya Orang Aceh
Sebelum
masuknya agama Islam ke Aceh, maka kebudayaan daerah ini dipengaruhi
oleh kebudayaan Hindu dan Budha berabad-abad lama-nya, terutama di
daerah-daerah pantai yang terletak di tepi lalu-lintas internasional,
sedangkan di peda-laman pengaruh animisme dan dinamisme masih sangat
kental. Sisa-sisa dari kepercayaan lama itu masih dapat kita lihat dalam
kehidupan rakyat Aceh sampai sekarang, walaupun mereka telah
berabad-abad memeluk agama Islam.
Pada masa kerajaan Poli dan
Sriwijaya, agama Budha berkembang pesat di Aceh di samping agama Hindu.
Peninggalan kedua agama tersebut yang berupa bangunan agama seperti
candi dan lain-lain sebagaimana yang dapat kita lihat di Jawa agak sukar
kita temukan.
Hal ini mungkin disebabkan karena pernah terjadi revolusi kepercayaan
akibat berkembangnya agama Islam, sehingga bangunan-bangunan yang berbau
kepercayaan lama dihancurkan. Kejadian yang seperti ini pernah terjadi
dikemudian hari, yakni pada zaman kerajaan Aceh Darussalam, di mana
buku-buku yang berisi ajaran Hamzah Fansuri dan pengikut-pengikutnya
dimus-nahkan oleh lawannya yang berhasil mempengaruhi penguasa bahwa
ajaran Hamzah Fansuri tersebut adalah ajaran sesat. Kitab-kitab Hamzah
Fansuridan pengikutnya yang sekarang masih tersisa kebanyakan dapat
dijumpai di luar Aceh, yaitu Malaysia dan Banten.
Beberapa
peninggalan purbakala seperti benteng Indrapatra dan Indrapuri dan
lain-lainnya memiliki indikasi sebagai peninggalan zaman Hindu dan
Budha. Namun demikian, hal ini masih perlu penelitian kepurbakalaan
secara lebih lanjut. Penemuan guci-guci berisi abu jenazah di Lamno
Daya(Aceh Barat) serta cerita rakyat mengenai Pahlawan Syah vang terus
hidup di negeri itu sebagai seorang penguasa Hindu yang gigih menentang
orang-orang Islam sedikit banyaknya akan memberi keterangan baru kepada
kita tentang pengaruh Hindu dan Budha di Aceh.
Kedatangan Islam
di berbagai daerah di Indonesia tidaklah secara bersamaan. Demikian pula
di kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatanginya memiliki
situasi politik dan sosial budaya yang berlainan. Berdasarkan berita
Cina pada zaman lasti Tang di abad VII dan VIII, diduga masyarakat lain
telah ada baik di Kanfu (Kanton) maupun di perah Samudera sendiri. Van
Leur mengatakan Lrv.a koloni-koloni pedagang Arab telah didirikan di
Kanton sebelum abad IV.
Pemukiman-pemukiman pedagang Arab itu sudah disebut-sebut lagi dalam
berita Cina tahun 618 dan 626. Dalam tahun-tahun selanjutnya
koloni-koloni pedagang Arab sudah memperkenalkan praktik-praktik ajaran
Islam. Sudah barang tentu koloni-koloni orang-orang Islam yang ditemukan
juga di sepanjang jalur perdagangan Asia Tenggara terutama
negeri-negeri di sekitar Selat Malaka.
Ada dugaan bahwa pada tahun 674 telah ada koloni orang-orang Islam di
pantai barat Sumatera. Sekitar abad XI dan XII kondisi kerajaan
Sriwijaya sebagai penguasa di daerah-daerah sekitar Selat Malaka semakin
lemah dan peranannya sebagai negara Budha pun mulai surut pula.
Kondisi politik dan sosial yang demikian sangat mempengaruhi peningkatan
penyebaran agama Islam di daerah-daerah tersebut. Hal ini dibuktikan
dengan lahirnya kerajaan-kerajaan yangbercorak Islam di pantai utara
Aceh. Sultan Johan Syah yang memerintah salah satu kerajaan di Aceh pada
tahun 1205 - seperti yang sudah dijelaskan pada bagian yang lalu -
adalah seorang raja yang beragama Islam.
Kegiatan penyebaran agama Islam di sekitar lembah sungai Aceh agaknya
sejak abad XII sudah sudah dilakukan, hal ini dibuktikan dengan adanya
berita tentang seorang mubaligh Arab yang bernama Syekh Abdullah Arief
yang meninggal pada tahun 506 H. (1112).
Sejarah Perkembangan Islam di daerah Aceh
Keterangan
Marco Polo yang singgah di Perlak pada tahun 1292 menyatakan bahwa
negeri itu sudah menganut agama Islam. Begitu juga Samudera-Pasai,
berdasarkan makam yang diketemukan di bekas kerajaan tersebut dan berita
sumber-sumber yang ada seperti yang sudah kita uraikan bahwa kerajaan
ini sudah menjadi kerajaan Islam sekitar 1270.
Tentang sejarah
perkembangan Islam di daerah Aceh pada zaman-zaman permulaan itu
petunjuk yang ada selain yang telah kita sebutkan pada bagian-bagian
yang lalu ada pada naskah-naskah yang berasal dari dalam negeri sendiri
seperti Kitab Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Pasai.
Menurut kedua kitab tersebut, seorang mubaligh yang bernama Syekh Ismail
telah datang dari Mekkah sengaja menuju samudera untuk mengislamkan
penduduk di sana. Sesudah menyebarkan agama Islam seperlunya, Svekh
Ismail pun pulang kembali ke Mekkah. Perlu uga disebutkan di sini bahwa
dalam kedua kitab ini disebutkan pula negeri-negeri lain di Aceh yang
turut diislamkan, antara lain: Perlak, Lamuri, Barus dan lain-lain.
Berdasarkan
keterangan kedua sumber itu dapatlah diperkirakan bahwa sebagian
tempat-tempat di Aceh, terutama tempat-tempat di tepi pantai telah
memeluk agama Islam. Berita-berita Cina ada juga yang menyebutkan bahwa
raja dan seluruh rakyat negeri Aru yang di kemudian hari termasuk bagian
dari Aceh adalah penganut-penganut agama Islam. I emikian pula Malaka
yang pada awal abad XV terus menjadi ramai, akhirnya menjadi kerajaan
Islam pula, bahkan setelah itu menjadi pusat syi'ar Islam ke seluruh
Asia Tenggara dan melalui Malaka pula agama Islam kemudian masuk dan
berkembang ke seluruh Indonesia.
Sehingga pada awal abad ke-15 hampir di setiap tempat di kepulauan
Indonesia sudah terbentuk masyarakat-masyarakat Islam. Islam yang masuk
ke Aceh khususnya dan Indonesia umumnya pada mulanya mengikuti
jalan-jalan dan kota-kota dagang di pantai, kemudian barulah menyebar ke
pedalaman. Para pedagang dan mubaligh telah memegang peranan penting
dalam penyebaran agama Islam. Di buka
(Sumber: Zakaria Ahmad. 2009.Aceh (Zaman Prasejarah & Zaman Kuno). Pena : Banda Aceh. hal. 99-103/acehinvestment.com)
Title : SENI DAN BUDAYA ACEH
Description : Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya y...