Hari itu merupakan hari bahagiaku,
alhamdulillah. Aku telah menyempurnakan separo usiaku : menikah. Aku
benar-benar bahagia sehingga tak lupa setiap sepertiga malam terakhir
aku mengucap puji syukur kepada-Nya.
Hari
demi hari pun aku lalui dengan kebahagiaan bersama istri tercintaku.
Aku tidak menyangka, begitu sayangnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepadaku dengan memberikan seorang pendamping yang setiap waktu selalu
mengingatkanku ketika aku lalai kepada-Nya. Wajahnya yang tertutup
cadar, menambah hatiku tenang.
Yang lebih bersyukur
lagi, hatiku terasa tenteram ketika harus meninggalkan istri untuk
bekerja. Saat pergi dan pulang kerja, senyuman indahnya selalu
menyambutku sebelum aku berucap salam. Bahkan, sampai saat ini aku
belum bisa mendahului ucapan salamnya karena selalu terdahului olehnya.
Subhanallah.
Wida,
begitulah nama istri shalihahku. Usianya lebih tua dua tahun dari aku.
Sekalipun usianya lebih tua, dia belum pernah berkata lebih keras
daripada perkataanku. Setiap yang aku perintahkan, selalu dituruti
dengan senyuman indahnya.
Sempat
aku mencobanya memerintah berbohong dengan mengatakan kalau nanti ada
yang mencariku, katakanlah aku tidak ada. Mendengar itu, istriku
langsung menangis dan memelukku seraya berujar, “Apakah Aa’ (Kakanda)
tega membiarkan aku berada di neraka karena perbuatan ini?”
Aku
pun tersenyum, lalu kukatakan bahwa itu hanya ingin mencoba
keimanannya. Mendengar itu, langsung saja aku mendapat cubitan kecil
darinya dan kami pun tertawa.
Sungguh,
ini adalah kebahagiaan yang teramat sangat sehingga jika aku harus
menggambarkanya, aku tak akan bisa. Dan sangat benar apa yang dikatakan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dunia hanyalah kesenangan
sementara dan tidak ada kesenangan dunia yang lebih baik daripada istri
shalihah.” (Riwayat An-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Hari terus berganti dan tak terasa usia pernikahanku sudah lima bulan. Masya Allah.
Suatu
malam istriku menangis tersedu-sedu, sehingga membangunkanku yang
tengah tertidur. Merasa heran, aku pun bertanya kenapa dia menangis
malam-malam begini.
Istriku
hanya diam tertunduk dan masih dalam isakan tangisnya. Aku peluk erat
dan aku belai rambutnya yang hitam pekat. Aku coba bertanya sekali
lagi, apa penyebabnya? Setahuku, istriku cuma menangis ketika dalam
keadaan shalat malam, tidak seperti malam itu.
Akhirnya,
dengan berat hati istriku menceritakan penyebabnya. Astaghfirullah…
alhamdulillah, aku terperanjat dan juga bahagia mendengar alasannya
menangis. Istriku bilang, dia sedang hamil tiga bulan dan malam itu
lagi mengidam. Dia ingin makan mie ayam kesukaanya tapi takut aku marah
jika permohonannya itu diutarakan. Terlebih malam-malam begini, dia
tidak mau merepotkanku.
Demi
istri tersayang, malam itu aku bergegas meluncur mencari mie ayam
kesukaannya. Alhamdulillah, walau memerlukan waktu yang lama dan harus
mengiba kepada tukang mie (karena sudah tutup), akhirnya aku pun
mendapatkannya.
Awalnya,
tukang mie enggan memenuhi permintaanku. Namun setelah aku ceritakan
apa yang terjadi, tukang mie itu pun tersenyum dan langsung menuju
dapurnya. Tak lama kemudian memberikan bingkisan kecil berisi mie ayam
permintaan istriku.
Ketika
aku hendak membayar, dengan santun tukang mie tersebut berujar, “Nak,
simpanlah uang itu buat anakmu kelak karena malam ini bapak merasa
bahagia bisa menolong kamu. Sungguh pembalasan Allah lebih aku
utamakan.”
Aku
terenyuh. Begitu ikhlasnya si penjual mie itu. Setelah mengucapkan
syukur dan tak lupa berterima kasih, aku pamit. Aku lihat senyumannya
mengantar kepergianku.
“Alhamdulillah,”
kata istriku ketika aku ceritakan begitu baiknya tukang mie itu.
“Allah begitu sayang kepada kita dan ini harus kita syukuri, sungguh
Allah akan menggantinya dengan pahala berlipat apa yang kita dan bapak
itu lakukan malam ini,” katanya. Aku pun mengaminkannya.
(Hidayatullah)