Oleh : Thayeb Sulaiman
( Aktifis Kebudayaan
di Pusat Kebudayaan Aceh Turki - PuKAT)
Lebih 400 tahun lalu, Aceh
melahirkan seorang perempuan perkasa dan bijaksana. Sampai kini dalam sejarah
bumi belum ada seorang anak manusia berjenis kelamin perempuan pun yang bisa
sehebatnya. Gubernur Aceh sebaiknya segera melaksanakan konferensi
internasional untuk menyatakan ini pada dunia. Konferensi tersebut menghadirkan
para pakar sejarah tentang kepemimpinan perempuan-perempuan sepanjang zaman.
Perempuan ini adalah Laksamana
Keumala Hayati. Dia seorang perempuan pertama di dunia yang berpangkat
laksamana penuh, pembesar Kesultanan Aceh Darussalam. Saat itu orang Eropa
masih memandang rendah kau perempuan. Jika kini persetaraan gender dikampanyekan
orang Barat di Aceh, maka itu bermakna dalam hal ini peradaban mereka tertingal
sejauh lebih 400 tahun di belakang Aceh.
Laksamana Keumala Hayati adalah
cucu pendiri Kesultanan Aceh Darussalam Sultan Ali Mughayatsyah. Ayahnya
petinggi tentara laut yang syahid saat berperang melawan pasukan Portugis.
Perempuan yang suaminyasyahid saat menghadapi musuh yang sama di Semenanjung
Malaka ini adalah admiral utama lulusan Ma’had Baitil Maqdis.
Ma’had Baitil Maqdis adalah
universitas kemiliteran terbesar di Asia Tenggara saat itu yang dibangun oleh
Kesultanan Aceh Darussalam bekerja sama dengan Khalifah Turki Usmani pada masa
Sultan II Selim. Itu dibangun setelah tibanya rombongan besar utusan Turki
dibantu oleh kafilah Aden, Hadramaut, Yaman dan Mekkah yang berlayar ke Aceh
dengan 70 kapal besar.
Rombongan itu menyertakan 300
ahli perang dan ahli senjata, karena Sultan II Selim memenuhi permintaan Duta
Besar Aceh Darussalam Panglima Nyak Dum yang diutus Sultan Aceh Darussalam.
Peristiwa kedatangan duta besar Aceh ke Turki ini dikenal dengan Lada Sicupak.
Selain menguasai bahasa ibunya
bahasa Aceh dan Melayu, Po Cut Nyak Laksamana Keumala Hayati fasih berbicara
dan menulis dalam bahasa Arab, Turki, Inggris, Perancis dan Spanyol. Ia memikul
tanggung jawab memimpin 60.000 marinir dan 400 kapal perang saat menjaga
Kedaulatan Aceh Darussalam yang saat itu terganggu oleh armada laut koalisi
Eropa pimpinan Portugis di perairan Selat Malaka. Ia yang meminta Tuha Peuet
Kesultanan Aceh Darussalam untuk memakzulkan Sultan Ali Riayat Syah yang tak
berbakat dan mengangkat Darmawangsa untuk menjadi Sultan Aceh Darussalam yang
kemudian bergelar Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam (1607-1636M).
Selama ini kita kenal Po Cut Nyak
Laksamana Keumala Hayati sebagai seorang laksamana perang. Kehebatannya yang
paling banyak disebut adalah kemampuan menyusun strategi dan memimpin pasukan
perang yang hampir tidak bisa dibandingkan dengan panglima perang atau
laksamana lelaki manapun dari Negara di dunia saat itu.
Namun masih banyak data tentang
kelebihan Laksamana Keumala Hayati belum dikabarkan. Bukankah ia adalah guru
hebat serta kawan yang amat baik bagi semua temannya. Perempuan tangguh ini
lahir dalam kapal laut, di pangkuan Sultan Iskandar Muda.
Po Cut Nyak Laksamana Keumala Hayati
berhasil menciptakan tokoh besar Sultan Iskandar Muda. Sayangnya, Iskandar Muda
tidak sempat menyiapkan generasi penerus sehebat dirinya, bahkan anaknya
sendiri ia bunuh. Beberapa fakta sejarah menyimpulkan pembunuhan Meurah Pupok
oleh Sultan Iskandar Muda merupakan hasil fitnah dari konspirasi beberapa pihak
luar Aceh di Istana Daruddunya.
Ini bearti Sultan Iskandar Muda
yang agung berhasil menghancurkan musuh di luar negeri, tapi tidak berhasil
mengalahkan musuh di istananya sendiri. Sejarah membuktikan bahwa setiap campur
tangan orang luar Aceh seperti orang Arab,
India, dan
lainnya, kesultanan yang dibangun atas dasar persaudaraan ini selalu kacau.
Hanya bangsa bijak yang majemuk dan memandang setingkat semua suku bangsa dan
ras saja yang mampu memimpin Aceh.
Saat itu dunia dipimpin oleh
Kekhalifahan Turki Usmani dengan bentuk persekutuan sederajat. Kesultanan Aceh
Darussalam merupakan sekutu terbesar Tuki Usmani di Asia Tenggara dengan diberi
hak mengibarkan bendera kekhalifahan saat menghalau penguasaan Asia Tenggara
oleh pasukan Persekutuan Kristen Eropa pimpinan Portugis. Bendera yang berwarna
dasar merah pekat tersebut akhirnya jadi bendera resmi Kesultanan Aceh
Darussalam. Bendera tersebut kemudian ditambah garis hitam putih oleh Hasan
Tiro saat menyatakan Gerakan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976.
Sampai kini di Instanbul,
tamu-tamu dari Aceh dihormati dengan baik. Kota
inilah ibukota Turki masa Kekhalifahan Usmani selama ratusan tahun yang
wilayahnya masuk ke Benua Eropa dipisahi oleh Selat Bosporus dengan benua Asia. Penjaga tempat bersejarah di sana selalu bisa menunjukkan “disinilah
Sultan II Selim duduk saat mengeluarkan perintah untuk mengirim para ahli
perang dan ahli pembuat senjata menuju Kesultanan Aceh Darussalam.”
Inilah sejarah yang mengajarkan
pada kita tentang bagaimana cara hidup dalam dunia yang tidak pernah nyaman.
Masa lalu sebagai tempat berpijak, masa kini sebagai kendaraan menuju masa
depan. Po Cut Nyak Laksamana Keumala Hayati telah mencetak tapak peradaban yang
membuat Aceh mampu mempertahankan dirinya menghadapi serangan dari luar
Sumatera, terutama Portugis dari Eropa Selatan dan sekutunya.
Orang-orang Aceh, terutama tokoh
masyarakat, pemerintah, dan budayawan diharapkan mampu mengangkat nama
Laksamana Keumala Hayati ke muka dalam peradaban Aceh sekarang. Kita sebaiknya
belajar dari semangat dan filosofi hidup perempuan perkasa ini sebagai manusia
merdeka. Perempuan yang melegenda di seluruh dunia ini sebaiknya dijadikan ikon
kebangkitan Aceh. Tidak cukup dengan nama pelabuhan, nama jalan, nama kelompok
militer, Po Cut Nyak Laksamana Keumala Hayati seharusnya juga dijadikan teladan
di Aceh dan dinegeri lain.
Tulisan-tulisan bangsa luar di
masa silam tentang perempuan Aceh seperti Laksamana Keumala Hayati, Ratu
Safiatuddin, Ratu Keumalatsyah, Ratu Nahrisyah, dan lain-lain disederajatkan
dengan tokoh-tokoh perempuan yang membentuk peradaban di dunia, seperti
Semiramis, ratu Mesir di masa silam.
Jika di masa kini belum ada tokoh
kharismatik yang membuat jutaan rakyat Aceh mengikutinya dengan tulus karena
mampu menjadi Bapak dari semua golongan, maka ada baiknya kita menilik ke masa
silam untuk belajar bahwa dimasa lalu Aceh telah maju. Aceh harus pulang ke
masa silamuntuk bisa mencapai masa depannya. Kita tertinggal ratusan tahun dari
indatu kita sendiri yang hidup di masa lalu. Peradaban yang dibangun oleh
mereka kini dipakai dinegara lain yang karenanya peradaban mereka lebih
bermoral dan maju.
Para
pembantah masa silam adalah orang-orang yang tidak percaya diri menghadapi masa
kini, tapi para pemuja masa silam tanpa melakukan apapun dimasa sekarang, lebih
tidak percaya diri lagi. Orang-orang yang hanya bermimpi untuk masa depan tanpa
melakukan langkah nyata untuk mencapainya adalah penghayal. Maka, masa silam
adalah tempat berpijak di masa kini menuju masa depan yang gemilang.
Kemanakah para pecinta dan pakar
sejarah di Aceh. Mengapa hari kebesaran Laksamana Keumala Hayati belum pernah
diperingati. Jika kini tidak ada Bapak pemersatu Aceh, mengapa Po Cut Nyak
Laksamana Keumala Hayati belum kita jadikan Ibu kita seluruh orang Aceh.
Pemimpin dan orang Aceh sebaiknya segera mengambil makna dari peristiwa dan
tokoh dalam sejarah, supaya dalam menghadapi zaman yang mendua ini hari-hari
kita akan bertahan dan menang kembali.
Sumber : Koran Serambi Indonesia,
Minggu 25 November 2012, Hal 2
Title : LAKSAMANA KEUMALA HAYATI
Description : Oleh : Thayeb Sulaiman ( Aktifis Kebudayaan di Pusat Kebudayaan Aceh Turki - PuKAT) Lebih 400 tahun lalu, Ac...