Biola tak berdawai : Tanpa dawai, bagaimanakah biola bisa bersuara? Biola bagaikan tubuh,
dan suara itulah jiwanya – tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh
manusia yang membuatnya bersuara? Jiwa hanya bisa disuarakan lewat tubuh
manusia, tetapi ketika tubuh manusia itu tidak mampu menjadi perantara
yang mampu menjelmakan jiwa, tubuh itu bagaikan biola tak berdawai.
Betapa lamanya waktu yang kita butuhkan untuk memahami jiwa : pernah
dipuja sembari merendahkan tubuh hingga melahirkan para pertapa. Jiwa
dipinggirkan sembari memuja tubuh hingga melahirkan para peraga. Ada
kalanya tubuh dan jiwa tak terpisahkan yang berarti tubuh menjadi sahih
sebagai cerminan jiwa, namun terlalu sering juga tubuh gagal menjadi
cermin memadai bagi penampilan jiwanya.
Terlalu sering kita melihat kebalikannya: tubuh terindah untuk jiwa
yang menyedihkan, jiwa terindah dalam tubuh yang memilukan – betapa
berpengaruh penampilan sang tubuh dalam penilaian kita tentang jiwanya,
dan betapa sering kita tersesat karenanya..
Jika saja engkau mendengar suara biola yang berbisik dan merintih di
malam hari, apakah engkau mengira suara itu datang hanya karena gesekan
tongkat bersenar kepada dawainya? Jika saja engkau mendengar suara biola
yang meratap dan melengking di malam sunyi, apakah engkau mengira suara
itu datang hanya karena ada tangan yang menggesekkannya? Dan jika saja
engkau mendengar suara biola di tengah keheningan, tidakkah engkau
mengira tangan yang menggesekkan biola itu menjelmakan nada-nada dari
dalam jiwa?
Tetapi dari manakah datangnya nada-nada yang membentuk nyanyian dari
dalam jiwa itu? Apakah nyanyian itu datang dari balik kegelapan dari
sebuah semesta entah dimana? Mungkinkah nyanyian itu berasal dari
kekelaman sang waktu yang mengiringi pengembaraan jiwa yang tersayat?
Dan jika pada suatu waktu engkau tidak menemui nyanyian dari nada-nada
itu, apakah engkau mengira nada-nada itu lenyap, dan tiada satu pun
biola memainkannya?
Karena nada-nada itu tetaplah ada meski kita tidak mendengarnya,
selama kita masih berjiwa. Adalah jiwa yang menggerakkan tubuh, namun
adalah hati yang membuat kita memiliki rasa di luar keinderaan kita.
Karena tanpa hati kita bukanlah manusia, sedangkan hati adalah semesta
nada-nada. Jiwa kita bagaikan lapisan-lapisan hati tanpa isi, yang mana
apabila lapisan-lapisan itu dibuka satu per satu ternyata tak pernah ada
habisnya. Setiap lapisan hati bagaikan suatu galaksi dalam semesta jiwa
yang tiada bertepi. Dimana nada-nada dengan segenap sentuhannya
mengembara dari sebuah jarak yang milyaran tahun cahaya jauhnya, hanya
untuk menyapa kehadiranmu.
Setiap kali untaian nada menyentuh jiwamu, sebetulnya engkau
terhubung dengan sebuah dunia dari hati yang berdenyar, dan tiada akan
pernah berhenti berdenyar selama cinta membasuhnya. Hanya mereka yang
mengenal cinta yang bisa mendengarnya, dan mengembangkan nada-nada itu
di dalam jiwanya menjadi nyanyian yang menentramkan. Dalam semesta jiwa,
nada-nada bagaikan kupu-kupu yang beterbangan mencari taman bunga
cinta. Mereka tidak akan hinggap di hati yang membatu, karena
bunga-bunga cinta berkembang dan mendenyarkan cahaya cinta yang
menyemburat di ladang hati yang sarat kelembutan. Mereka mengumpulkan
sari madu kemurnian untuk dipersembahkan kepada kita semua, manusia yang
hampir kehilangan dawai bagi sang biola.
sumber : http://www.elmoudy.com/biola-tak-berdawai
Title : BIOLA TAK BERDAWAI
Description : Biola tak berdawai : Tanpa dawai, bagaimanakah biola bisa bersuara? Biola bagaikan tubuh, dan suara itulah jiwanya – tetapi di sebelah man...