Saudaraku… wahai penguasa sebangsaku.
Apakah yang kau mau? Inginkah kau agar kubangunkan bagimu istana megah
dengan hiasan kata-kata hampa dan palsu. Ataukah kubangun kuil-kuil
pemujaan materi yang beratap khayalan. Ataukah kausuruh aku
menghancurkan segala yang telah kau bangun dengan bala tentaramu yang
bodoh dan culas. Haruskah tanaman kemunafikan yang kau jaga dengan
sederet pagar keprihatinanmu, kucabuti semuanya dan kutebas dengan
pedang. Sebutlah keinginanmu yang tidak waras!
Sahabatku… penguasa sebangsaku.
Apa yang harus kulakukan? Perlukah aku mendengkur, terlelap manis bagai
anak kucing malas dan tidur di bawah pintu istanamu, demi kepuasanmu?
Ataukah aku harus meraung bagai singa tua yang berhasrat mencari mangsa
untuk memenuhi isi perut anak-anaknya yang kelaparan. Aku telah
menyanyikan lagu kehormatan untukmu, tetapi kau tidak juga menari. Dan
aku telah menangis di hadapanmu, tetapi kau tidak mau mengerti. Haruskah
aku menangis sambil menyanyi?
Jiwamu… wahai penguasa sebangsaku.
Jiwamu pedih menderita. Jiwamu keropos karena kelaparan akan
kebijaksanaan para sufi, sedangkan serpihan ambisimu yang dangkal
berserakan dimana-mana, lebih banyak dari kerikil di lembah sungai.
Hatimu telah kering, layu kehausan. Sedangkan kepingan perak materi
menyesaki seisi rumahmu. Mengapa tak dari sana kaulepaskan dahagamu?
Laut pasang dan surut. Bulan pun purnama lalu menciut. Silih berganti
segala yang ada. Bagai bayang-bayang dewa yang belum lahir,
melayang-layang terbang antara ada dan tiada. Tetapi kebenaran tak
pernah berubah. Tiada pula bakal surut atau lenyap. Lalu mengapa kau
berupaya merusak wujudnya?
Telah kuserukan kepadamu pada malam keheningan yang tenang untuk
memandang bulan purnama dan keagungan hamparan bintang-bintang.
Merasakan kedamaian dan menangkap pertanda suci yang biasanya ditebarkan
Tuhan melalui ilham dan kontemplasi. Mungkin di malam itulah…
kekuatanmu hadir kembali. Tapi kau tersentak bangun dari mimpimu, meraih
pedang dalam ketakutan sambil berteriak, “dimana musuhku…aku akan
membunuhmu!”
Lalu di kala pagi tiba…dan aku berseru lagi kepadamu, karena musuhmu
menghadang di ambang pintu. Tetapi kau tidak bangun, sedang tercekam
dalam mimpi ketakutan dan tercekat dalam iring-iringan hantu kelam.
Musuhmu telah mencuri kesadaranmu, dan kau masih tertidur pulas.
Telah kutangisi penghinaan yang kauderita… wahai penguasa sebangsaku.
Serta kutumpahkan rasa pedihku agar kau mendengar suara tangis anak-anak
yang merengek di sudut kota yang kautinggalkan. Airmataku telah
bercucuran. Tapi sia-sia kucoba..membakar musnah kelemahanmu.
Apa harapanmu… duhai penguasa sebangsaku?
Maukah kau kutunjukkan, bayangan penampilan wajahmu di sungai yang
airnya mengalir dengan tenang. Mari…dan lihat sendiri…betapa keburukan
wajahmu membuat ngeri bangsa ini. Pandang dan renungkan. Ketakutan telah
mengecat rambutmu menjadi sepucat abu, yang mengendap di dasar tungku.
Dan kegetiran hidup telah mengubah matamu menjadi tanpa tujuan. Tinggal
cekungan hitam yang hampir padam. Sedangkan hatimu yang pengecut
menyentuh pipimu yang kecut.
Masihkah ada yang kaucari… wahai penguasa sebangsaku?
Apa yang kauminta dari kehidupan yang tiada lagi menganggap dirimu
sebagai putra sejatinya. Jiwamu membeku dalam genggaman. Kala para
penyihir dan penyamun renta mengelus bibirmu, sedangkan badanmu
gemetaran menggigil ketakutan dalam cengkeraman mantra yang tak pernah
berhenti mendengung di balik telingamu.
Apa yang kauharapkan… wahai penguasa sebangsaku?
Kini kau berdiri tegak di depan wajah matahari senja. Pedangmu
bersarungkan kain terkoyak, dan tombak lembingmu telah patah. Perisai
tamengmu penuh lubang. Bagaimana kau berani berperang menghancurkan
musuh yang telah merampas kesadaranmu.
Kemunafikan menjadi agamamu. Kekosongan menjadi akhirmu. Jadi mengapa
kaulanjutkan sisa umurmu untuk terus mengejar kekuasaan? Tak pedulikah
kau…dengan jasadmu yang tak sanggup lagi menahan terpaan busur panah
musuh. Bukankah kematian menjadi satu-satunya kenyamanan, yang harusnya
kau persiapkan?
Kehidupan itu suatu tekad yang menyertai keremajaan. Dan suatu
kegigihan yang mengikuti kedewasaan. Dan suatu kebijaksanaan yang
mengejar kepikunan. Tapi kau…wahai penguasa sebangsaku. Yang berakhir
tua dan renta. Ragamu telah layu dan isi kepalamu mulai menyusut. Masih
saja kejar mengejar berlarian dalam lumpur, kalian saling melempar
bebatuan.
Harus kupanggil apa…dirimu?
sumber : http://www.elmoudy.com/syair-penguasa-tua
Title : SYAIR PENGUASA TUA
Description : Saudaraku… wahai penguasa sebangsaku. Apakah yang kau mau? Inginkah kau agar kubangunkan bagimu istana megah dengan hiasan kata-kata hampa...