Oleh : Cha Canlierz
Kau benar-benar akan kencan
dengan dengannya?” Ucapan Rini teman sekamarmu membuat berhenti mematut diri
dikaca. Kau memandangnya dari biasan kaca. Jelas kau tangkap raut wajah
khawatir diwajah sahabatmu itu.
“Kenapa tidak?” Ucapmu ringan.
Kau kembali memilih-milih baju yang akan kau kenakan. Kau melirik jam yang ada
dipergelangan tanganmu, lantas menghembuskan nafas. Sesaat lagi ia akan dating
menjemputmu. Lelaki yang pernah mencintaimu, juga pernah kau cintai. Lelaki
yang lebih dari tiga tahun menemani harimu. Lelaki yang menghempaskanmu, tepat
di saat kau melambung atas bait-bait rasa yang ia tawarkan.
“Jangan bilang kalian mau
balikan?” Ucapan Rini tiba-tiba membenturkan perasaanmu. Kau membalikkan badan,
menatap dalam-dalam kematanya. Lalu kau mengerjap, membuang pandang kearah
jendela. “Kau saying dia?” Ucap Rini
lirih. Kau tak menjawab, hanya mengangguk pelan. Kau tahu, dia masih
jadian sama selingkuhannya itu?”
Kau tak menjawab lagi juga tak
mengangguk. Tapi, kau tahu persis lelaki itu masih mencintai gadis itu. Gadis
yang merebut setengah hasrat tertawamu. Suara klakson mobil membuat kalian
menoleh bersamaan. Kau menyambar tas tangan dan gadgetmu. “Please… aku
baik-baik aja.” Ucapmu lirih.
Dari jendela, Rini masih
mengamati. Lelaki itu turun dari balik kemudinya ketika kau berjalan mendekat.
Membukakan pintu untukmu dengan sopan, sekilas ia memandang kejendela lalu
melambaikan tangan kearah Rini.
“Leo, kita mau kemana?” Ucapmu
tak lama setelah mobil sedan hitan itu membelok diujung gang rumahmu menuju
jalan besar. Leo menoleh kearahmu dan tersenyum ringan.
“Tunggu aja, aku tak akan
membuatmu kecewa.” Ucapnya pelan. Kau masih memandangi wajah itu beberapa jeda,
hingga ketika mobil itu berhenti disebuah Restoran ternama dikotamu.
Kau terdiam melihat ornamen
restoran itu. Hingga kau merasa dadamu sesak, semua dinding bertaburan kerlap
kerlip lampu, boneka dan coklat. Leo menarik kursi untukmu, setelah
membungkukkan badan dan duduk dengan nyaman kau menangkap mata Leo menjurus
kearahmu.
Seorang pelayan dating kea rah
kalian sambil membawa menu. “Ommelet di sini paling enak.” Ucapnya tiba-tiba.
Kau hanya mengangguk dan menyerah. Kali ini otakmu tak mampu bekerja, jantungmu
berdetak tak seperti biasa. Seperti dua tahun lalu, ketika Leo masih kau
miliki.
Beberapa menu dipesan oleh Leo,
sepertinya ia masih sangat hapal kesukaanmu. Ketika semua menu itu ada
dihadapanmu, selera makanmu menguap begitu saja. Pergi entah kemana. Baru saja
nafasmu mulai beriringan, kau menoleh ketikan mendengar alunan jazz lembut.
Lampu utama mati dan digantikan lampu temaram, slide berganti satu persatu.
Bait-bait cinta terurai.
Ah…mengapa hari ini terasa begitu romantis? Batinmu.
Kau lupa hari ini hari valentine,
hari yang kata orang hari kasih saying itu. Hari di saat teman-temanmu sibuk
akan coklat dank ado, tapi tidak untuk kau. Kau tak pernah mengenal kata itu.
Bahkan tak begitu mengerti. Yang kau tahu, malam ini sangat manis, bukan karena
hari kasih saying, tapi atas semua sajian semu yang kau cicip.
Kau menyentuh layer touchscreen
tak keruan. Bingung dan tak mengerti apa yang akan kau katakana. Leo juga lebih
banyak diam, hingga kau rasa tangannya menyentuh jemarimu dan memasukkan sebuah
cincin emas putih dengan permata kecil diatasnya. Matamu mengerjap.
Agak lama kau pandang cincin itu.
Cincin yang taka sing bagimu. Kau melepasnya dari jemari dan membaca ka
dilingkaran dalamnya. Benar! Tak salah lagi! Itu adalah cincinmu dulu, cincin
yang pernah kau campakkan ketika Leo mengkhianatimu.
“Saat itu, aku menyesal dan ingin
meminta maaf. Tapi, waktu aku lihat kau membuangnya. Aku mencarinya dan selalu
menyimpannya….” Leo tak meneruskan ucapannya. Sengaja berhenti bicara, tak
berkata apa-apa. Ia memandangmu yang menunduk semakin dalam. “Aku masih
mencintaimu.”
Kau menarik tanganmu cepat, dan
menyembunyikannya dibawah meja. Air mukamu berubah, kau meremas-remas tanganmu
resah. Tidak! Tak boleh jatuh cinta padamu lagi. Aku tak ingin jatuh kelubang
yang sama dua kali. Aku tak ingin sebodoh cacing. Batinmu.
Leo menatapmu linglung, tak tahu
mengapa kau bersikap acuh padanya. Tak mengerti mengapa kau menarik tanganmu
tiba-tiba. Kau merasakan sesak didadamu, pertanyaan dan fikiran buruk
bersiliweran ditelinganmu.
“Aku mau pulang!” Ucapmu tegas,
tapi terdengar ketus. Leo menatapmu dengan raut penyesalan. Waktu yang ia pilih
tak cocok rupanya, hingga baru jam menunjukkan pukul delapan malam kau sudah
ingin pulang.
Kalian berjalan kearea parker tak
beriringan. Tiap kali Leo ingin sejajar denganmu kau mempercepat langkah.
Hingga ketika mobil telah melaju kearahmu, kau lebih banyak diam dan membuang
pandang keluar jendela.
“Maaf….” Ucap Leo tercekat.
“Untuk semuanya.”
“Sudahlah.” Sahutmu dingin.
Leo memberhentikan mobilnya tepat
didepan rumahmu. Kau membuka pintu yang terkunci itu. “Seandainya saja aku
masih punya kesempatan.” Ucap Leo lirih tanpa menatapmu. Dari suaranya, kau
tahu ada getaran yang keluar dari tenggorokannya.
“Aku memang masih mencintaimu,
tapi pengkhianatan itu, harus dibayar mahal. Aku tak bisa kembali.” Ucapmu
sambil tetap mencoba membuka pintu mobil.
“Jika aku menerimamu lagi saat
ini, suatu saat bisa saja kau melakukannya lagi, dan semua terulang kembali.
Terimakasih telah mengajarkan arti kesetiaan dengan mengkhianatiku.”
Pintu terbuka setelah, Leo
menekan tombol pengunci pintunya. Kau melangkah, tanpa membalikkan tubuhmu
lagi.
Sumber : Koran Medan
Bisnis, Minggu 29 Juli 2012, Hal 10