Oleh : Drs. H. Ahmad Bangun Nst, MA
Alkisah di masa
kejayaan Irak yang ketika itu dipimpin oleh Harun Al Rasyid, berkunjunglah
seorang ulama besar bernama Shihab. Dalam jamuan tersebut Harun Al Rasyid
meminta petunjuk tentang bagaimana cara memimpin Daerah Irak dengan baik. Lalu,
sang Ulama tak segera menjawab, ia hanya mengajak Harun untuk berjalan
mengelilingi Daerah di tengah gurun pasir nan tandus, di tengah hari pertama,
di atas teriknya matahari, Harun pun kehausan, dan tak satupun tempat yang
memiliki dan menyediakan air, lalu sang ulama pun bertanya, ya Raja, jika ada
seseorang yang dapat memberikanmu air di tengah terik dan dahaga ini, apa yang
akan kau berikan padanya?, lalu Harun-pun menjawab, aku akan memberikan separuh
kekuasaanku di Irak ini.
Usailah
perjalanan di hari pertama, lalu di hari kedua juga terjadi hal yang sama. Di
tengah terik matahari dan haus dahaga, kembali sang ulama bertanya, ya raja,
apakah yang akan kau berikan jika ada seseorang membawakanmu air di tengah
dahaga ini?, lalu sang Raja-pun menjawab, aku akan memberikan separuh
kekuasaanku di Irak ini. Sampai disitu, lalu sang ulama pun mengatakan, ya raja
ada dua hal yang perlu kau ketahui, pertama, kau sudah menjual Irak ini hanya
dengan dua gelas air untuk menghilangkan dahagamu, itu tertanda bahwa kau
merasa bahwa kau telah memiliki jabatanmu sepenuh diri.
Kedua, dengan
keputusanmu untuk memberi seluruh kekuasaanmu di Irak ini hanya dengan dua
gelas, pertanda bahwa kau masih terpengaruh dengan kekeringan, kesusahan
dirimu. Sementara banyak rakyatmu yang mungkin lebih ber-dahaga darimu.
Hikayat diatas
paling tidak bisa memberikan kita sebuah harapan terhadap pemimpin Sumatera
Utara kedepannya. Bahwa apatisme rakyat masih bermain tajam di tengah otoritas
demokrasi di bangsa ini. Mau tidak mau, pemenang pemilukada Daerah Sumut tahap
pertama lalu adalah Golput. Hal ini adalah indikasi besar bahwa masyarakat
secara luas tidak merasakan pengaruh yang besar terhadap kepemimpinanya.
Disamping besarnya peran media yang meng-audit secara tajam pula tentang
kinerja pemerintahan Daerah secara menyeluruh.
Untuk itu pula
kita bisa menitipkan pesan hangat menjelang kepemimpinannya nanti, dan teguran
hangat sebelum memimpin nantinya. Mungkin, hikayat di atas tidak cukup menjadi
referensi yang tangguh untuk memberikan contoh dan harapan tentang sebuah
kepemimpinan, tapi paling tidak, hikayat di atas bisa jadi bahan renungan dan
selanjutnya bahan saduran memimpin Daerah Sumut kedepannya.
Pertama,
siapapun pemimpin Daerah Sumut kedepannya, jadilah seorang pemimpin yang
“menangis”, menangis jika anda lupa bahwa kepemimpinan itu adalah amanah. Tidak
ada satu alasanpun yang bisa menggadaikan kepemimpinanmu jika itu adalah
tindakanmu secara pribadi. Yang memimpin itu adalah ke-amanahmu yang dipercayai
rakyat, bukan dirimu secara pribadi. Jadi lepaskanlah ketergantunganmu terhadap
kekuasaan yang sedang kau pegang dengan kebutuhan dirimu secara pribadi.
Betapa naifnya
seorang pemimpin jika ia merasa bahwa kekuasaan yang sedang ia pegang itu
membuatnya hebat di semua tempat, tapi jadikanlah kekuasaanmu sebagai batu
acuan untuk mencari tahu seberapa besar rakyat menggantungkan harapan terhadap
kekuasaanmu.
Kedua, jadilah
pemimpin yang melupakan diri sendiri. Maksudnya, lupakanlah dirimu dengan
segala jabatan yang sedang kau pegang, karena ketika jabatan itu kau pikul,
sebenarnya kau sedang berusaha mempertahankan kepercayaan rakyat ketikan
memilihmu, untuk itu tabulasi-lah keinginan rakyat itu, lalu kerjakanlah dan
wujudkanlah. Ingat, jabatan yang kau pegang itu bukan sarana untuk mewujudkan
keinginanmu secara pribadi , tapi jabatan itu adalah wujud dari kelayakanmu
menjadi pemimpin untuk mewujudkan keinginan masyarakat yang sedang kau pimpin.
Ketiga, jadilah
pemimpin yang elastisformalistis (istilah dari penulis). Elastic menghadapi
besar dan ragamnya keinginan dan harapan rakyat, ke-elastisan itu akan
membuatmu selalu berfikir lalu bertindak untuk menentukan kebijakan yang
ber-maslahat. Ingat, tidak semua hal ter-adili hanya dengan sesuatu yang
sifatnya formalistic tetaplah menjalankan aturan dan perundang-undangan yang
berlaku, hal itu membuatmu menjadi orang yang disiplin dan patuh aturan. Sebab
manusia yang bijak adalah manusia yang patuh aturan.
Setidaknya
ketiga masukan inilah yang harapannya bisa menjadi bahan renungan, kajian dan
terus awalan untuk pemimpin Daerah Sumut ini kedepannya. Lebih jauh, kita jiuga
bisa melihat konsep yang ditawarkan Muhammad Iqbal dalam bukunya Fiqh Siyasah,
bahwa ada beberapa kriteria pemimpin yang ideal :
1. Prinsip kedudukan manusia di bumi. Manusia
ketika hendak menjadi pemimpin di dunia, harus benar-benar menyadari apa
kedudukannya dan fungsinya di dunia ini. Hal ini tentunya berkaitan dengan
nilai-nilai ketauhidan yang harus menyadari bahwa diatas kepemimpinan diri ada
yang lebih memimpin dan menguasai, yaitu Allah SWT. Proses penyadaran diri
terhadap fungsi dan kedudukan ini akan menghilangkan rasa tinggi hati, curang,
merasa kuat dan menghindarkan diri dari segenap kebijakan yang sifatnya diskriminatif
terhadap kebutuhan rakyat banyak.
2. Prinsip kekuasaan sebagai amanah. Pemimpin yang
ideal sesungguhnya mengawali kepemimpinannya dari keinginan masyarakat luas
untuk menjadikannya sebagai pemimpin sebab telah mengetahui sejauh mana
kapabilitasnya jika orang tersebut menjadi pemimpin. Optimisme untuk menjadi
seorang pemimpin. Optimisme untuk menjadi seorang pemimpin harus didasari dari
prinsip amanah dan tanggung jawab. Kepemimpinan yang dipikul adalah sebuah
tanggung jawab yang harus dipertanggung jawabkan secara sempurna dihadapan
masyarakat.
3. Prinsip penegakan keadilan. Seseorang pemimpin
kedepannya harus benar-benar yang memiliki I’tikad dan program kerja yang adil
dan memberikan keadilan. Tidak diskriminatif dan menjalankan amanat
Undang-undang yang berlaku. Miskin, kaya. Pejabat dan masyarakat bisa bukan
menjadi ukuran dalam bertindak dan memutuskan perkara. Pemimpin yang tidak
“mempelintir” nilai keadilan menurut kehendak hatinya. Namun keadilan yang
memang dimaksud dalam nilai-nilai keislaman.
4. Prinsip amar ma’ruf nahyi munkar. Seorang
pemimpin harus konsisten terhadap nilai amar ma’ruf nahyi munkar. Tidak
menyeleweng untuk mengkondisionalkan bagaimana tipologi amar ma’ruf menurut
kehendak hatinya. Namun tetap mengukur amar ma’ruf dari nilai-nilai yang
tertuang dalam Al Qur’an dan Sunnah.
5. Prinsip profesionalisme, akuntabilitas dalam
pengisian jabatan pemerintahan. Seorang pemimpin harus mampu memilih rekan
kerjanya dengan benar-benar melihat fungsi dan kapabilitasnya. Tidak nepotisme
tanpa keahlian dalam bidang-bidang tertentu. Dan tidak pula otoriter dalam
menentukan kebijakan. Seorang pemimpin harus mampu agresif dan efektif dalam
menentukan kebijakan yang akan dilakukan.
6. Setidaknya ada 5 prinsip penting dari banyak
prinsip yang harus dikedepankan untuk menjadi seorang pemimpin. Begitu juga
dengan masyarakat luas yang bakal mencari dan memilih siapa pemimpin Daerah
Sumut masa depan. Seorang pemimpin harus benar-benar siap secara lahir batin
untuk menjadi seorang pemimpin yang benar.
Tanpa perilaku dan kebijakan yang sifatnya
“dadakan dan tumbenan” jangan sampai obral janji jangan sampai terkesan menjadi
pemimpin yang “munafik” yang berlainan antara ucapan, janji-janji dengan
perbuatan dan kebijakan pasca menjadi pemimpin. Semoga Daerah Sumut ini lebih
baik kedepannya ***
Sumber : Koran Analisa Halaman 28, Jumat 18 Mei 2012
Title : OPINI : POLA PEMIMPIN DALAM ISLAM
Description : Oleh : Drs. H. Ahmad Bangun Nst, MA Alkisah di masa kejayaan Irak yang ketika itu dipimpin oleh Harun Al Rasyid,...