Oleh: Artawijaya*
Ketika penulis melansir beberapa tulisan terkait Raden Ajeng Kartini,
beberapa pembaca banyak mengajukan pertanyaan, bahkan sanggahan.
Kebanyakan dari tanggapan itu menganggap penulis terlalu tendensius
dalam memandang sosok Kartini, terlalu terbuai teori konspirasi, dan
mempunyai motif tertentu dalam mengeritik sosok pahlawan nasional
tersebut. Atas pertanyaan dan sanggahan tersebut, penulis nyatakan bahwa
apa yang penulis lakukan adalah upaya untuk menuliskan sejarah secara
jujur, sejarah yang berangkat dari fakta-fakta yang ada, bukan sejarah
yang ditulis oleh tinta penguasa. Jika pun ada motif tertentu, maka
penulis harus akui bahwa motif itu adalah upaya untuk membongkar
selubung “de-islamisasi fakta sejarah” yang selama ini terjadi dalam
sejarah nasional kita. De-islamisasi yang dimaksud adalah upaya
memarjinalkan peran umat Islam dalam sejarah pergerakan nasional di
negeri ini.
Penulis hanya memaparkan sisi lain Kartini, yang mungkin belum pernah ditulis dalam buku-buku sejarah (text book)
yang diajarkan di sekolah-sekolah kita. Jika sejarah nasional selama
ini menulis kiprah Kartini sebagai ikon kemajuan perempuan Indonesia
yang tercermin dalam surat-suratnya, maka penulis berusaha menguak sisi
lain tentang Kartini secara personal, diantaranya pandangan keagamannya,
latarbelakang pemikirannya, dan siapa saja orang yang berinteraksi
secara intim dengannya. Setelah itu, silakan pembaca sekalian menimbang
dengan jernih tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam penulisan
sejarah nasional negeri ini.
Penulis tak pernah menyebut Kartini sebagai sosok yang anti-Islam.
Bahkan penulis tak pernah menyebut Kartini sebagai anggota Theosofi,
sebuah aliran kebatinan Yahudi yang pada era 1900-an di Jawa begitu
pesat berkembang. Penulis hanya menyatakan, isi surat-surat Kartini
kepada para sahabatnya yang kebanyakan elit-elit Belanda, sangat kental
dengan pemikiran dan paham Theosofi. Diantaranya paham tentang
pluralisme agama, paham tentang Tuhan, dan tentang amal manusia.
Kumpulan surat menyurat Kartini diterbitkan oleh Kartini Fonds pada 1911
di negeri Belanda, sementara Kartini meninggal pada 1904.
Jika ada yang mengatakan bahwa kumpulan surat menyurat Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” karena Kartini terinspirasi dari ayat Al-Qur’an yang berbunyi “Minazhzhulumaati ilaannur”,
maka sesungguhnya judul itu bukanlah dari Kartini, melainkan judul yang
dibuat oleh Armijn Pane, sastrawan yang juga anggota Theosofi.
Sementara judul berbahasa Belanda “Door Duisternis tot Licht”
yang diartikan oleh Armijn Pane dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”
adalah judul yang diberikan oleh Abendanon. Abendanon sendiri mengaku
mengambil judul itu dari sebuah syair yang dikutip oleh Kartini dari
seorang wanita tua, yang berbunyi,
“Habis malam terbitlah terang
Habis badai datanglah damai
Habis juang sampailah menang
Habis duka tibalah suka..”
(Surat kepada E.C Abendanon, 15 Agustus 1902)
Apakah ada pernyataan dari Kartini bahwa istilah “Habis Gelap
Terbitlah Terang” berasal dari ayat Al-Qur’an? Pada kenyataannya,
istilah “habis gelap menuju terang” juga digunakan oleh kelompok
Freemason ketika membaiat anggota barunya, dengan mengatakan, “Kalian
berada dalam zhulumat (kegelapan), sekarang kami bawa ke dalam
cahaya.” dan pada masa lalu, kelompok rahasia Illuminati di Hindia
Belanda juga disebut sebagai “Kelompok Cahaya” (Lihat, A.D El
Marzededeq, Jaringan Gelap Freemasonry dan Perkembangannya sampai ke Indonesia, Bandung: Syamil, 2007 dan Freemasonry Yahudi Melanda Dunia Islam, Bandung:Gema Syahidah, 1993)
Ada yang menyebut pandangan keagamaan Kartini sudah berubah, dari
kebatinan-sinkretis ala Theosofi kepada keyakinan Islam yang
sesungguhnya karena pertemuannya dengan Kiai Soleh Darat di Demak.
Meskipun tak ada keterangan pasti mengenai seberapa intim interaksi
Kartini dengan Kiai Soleh Darat. Namun yang pasti, Kartini mengaku
bertemu Kiai Soleh Darat pada 1903, dan pada tahun yang sama kiai
tersebut meninggal dunia. Kartini sendiri meninggal dunia setahun
kemudian, pada 1904. Fakta lain, meskipun sudah berinteraksi dengan Kiai
Soleh Darat, namun tak ada dokumen yang menunjukkan bahwa Kartini
mengoreksi pemahamannya selama ini tentang agama, Tuhan, dan
kemanusiaan.
Jika ada yang mengatakan Kartini sangat menolak Kristenisasi, maka
penulis berpendapat, penolakan itu semata-mata karena cara yang
digunakan misionaris tersebut, dan penolakan itu juga berdasarkan
pemahaman Kartini bahwa agama apapun tak boleh mendominasi keyakinan
seseorang, karena agama manapun pada hakekatnya sama, selama menebarkan
kebajikan. Ini tercermin dalam suratnya kepada E.C Abendanon, 31 Januari
1903, “Kalau orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa,
ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha
Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Buddha maupun
Yahudi, dan lain-lain.”
Juga surat kepada misionaris Dr N Adriani, 5 Juli 1903 yang berbunyi, “Tidak
peduli agama apa yang dipeluk orang dan bangsa apa mereka itu. Jiwa
mulia akan tetap mulia juga dan orang budiman akan budiman juga. Hamba
Allah tetap dalam tiap-tiap agama, dalam tengah-tengah segala bangsa”.
Pada surat-surat lainnya, Kartini mengatakan bahwa agama yang
sesungguhnya adalah kebatinan dan kasih sayang. Keyakinan seperti ini
sama persis dengan apa yang menjadi dasar keyakinan Theosofi, bahwa
tidak ada agama yang lebih tinggi daripada kebenaran atau kebajikan (There’s No Religion Higher than Truth). Dan, sekali lagi, di akhir hayatnya tak ada keterangan yang menunjukkan bahwa Kartini mengoreksi keyakinannya tersebut.
Sebagai sesama Muslim, tentu kita berharap Kartini meninggal dalam
keadaan sempurna keislamannya dan membuang jauh-jauh keyakinan yang
menyimpang soal keagamaannya. Namun, karena ia merupakan sosok pahlawan
nasional milik bangsa ini, maka sudah seharusnya masyarakat tahu secara
lebih mendalam tentang siapa Kartini sesungguhnya, bagaimana pemikiran
dan keyakinannya, dan lain-lain. Jika penulis menduga ada campur tangan
kolonialis dalam upaya memunculkan sosok Kartini sebagai ikon kemajuan
perempuan Indonesia, hal ini tak berlebihan, mengingat elit-elit Belanda
lah yang pertama kali memunculkan sosok Kartini dan mendirikan lembaga
Kartini Fond di Belanda pada 1911 yang bekerja memasarkan
gagasan-gagasan Kartini. Upaya kolonialis untuk menonjolkan sosok
Kartini juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa Politik Etis dan Politik Asosiasi
yang dilakukan Belanda berhasil mendidik pribumi menjadi sosok yang
terdidik, modern, dan berpikiran maju sesuai dengan cita-cita humanisme.
Surat Kabar Nieuw van den Bag, pada 1914, memuat komentar
pembaca yang mempertanyakan sikap elit-elit Belanda yang begitu getol
memperkenalkan sosok Kartini. Surat tersebut menyatakan, ”Kalau Kartini
berjuang buat bangsanya, mengapa kita (Belanda) yang mesti ribut-ribut
memperkenalkannya kepada masyarakat? Mengapa mesti kita juga yang
keluarkan duit buat biayai sekolah-sekolah Kartini? Biarlah mereka
usahakan dan kerjakan sendiri!”
Agama Kartini dalam Sorotan
Seperti penulis paparkan pada tulisan sebelumnya yang berjudul “Kartini dan Para Yahudi Belanda”,
kebanyakan dari sahabat-sahabat Kartini adalah orang-orang Yahudi
Belanda penganut paham sosialisme-humanisme. Interaksi Kartini yang
berlangsung lewat surat menyurat dan kiriman-kiriman buku berlangsung
secara intens. Diantara buku yang pernah dibaca Kartini dari sahabatnya
adalah buku berjudul “Droomen van het Ghetto” (Impian dari
Ghetto). Buku karya Zangwil ini berisi tentang keadaan sosial yang
sangat buruk, yang dialami oleh orang-orang Yahudi di
perkampungan-perkampungan Yahudi di Inggris.
Kartini juga melahap habis buku-buku karya perempuan aktivis
feminis-sosialis, seperti Goekoop de Jong, Cornelie Lydie Huygens,
Marcel Prevost, Helena Mercier, dan lain-lain. Menurut keterangan,
buku-buku inilah yang menjadi sumber inspirasi perjuangan emansipasi
perempuan yang disuarakan Kartini. Sahabat Kartini, Stella Haarshalts
Zeehandelaar, adalah perempuan Yahudi aktivis feminis-sosialis yang
cukup radikal. Dalam biografi berjudul “Panggil Aku Kartini Saja” Pramoedya Ananta Toer menggambarkan sosok Stella berikut ini:
”Estella Zeehandelaar adalah seorang gadis Yahudi Belanda dengan
pandangan hidup sosialis yang berapi-api. Ia tidak menyetujui kalau
Kartini masuk ke dalam dunia keagamaan. Stella mempengaruhi Kartini
dalam pandangan hidup, bahwa kebajikan bukanlah barang monopoli kaum
agama, karena orang pun –dan terutama sekali—dapat lakukan kebajikan
karena perasaan tanggungjawab kepada sesama, karena nuraninya sendiri.” (Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Lentera Dipantara, 2010, Cet.Kelima, hal. 212)
Pramoedya alias Pram sendiri menilai Kartini sebagai sosok humanis,
yang meyakini bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia. Bagi Kartini,
kata Pram, semua agama sama. Pandangan ini adalah wujud dari daya
sinkretik yang tertanam pada jiwa Kartini yang menilai manusia pada
amalnya, pada sesamannya, pada kemanusiaan, bukan pada agamanya.
Kartini, tegas Pram, adalah seorang humanis yang melihat segala sesuatu
dari sisi kepentingan kemanusiaan.”Humanis memandang, tanpa kemanusiaan
dalam batin manusia itu sendiri, agama tidak bakal memenuhi gunanya,”
jelas Pram yang dikenal sebagai aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra), sebuah lembaga underbouw Partai Komunis Indonesia.
Penilaian Pram tentu bukan tanpa alasan. Paham humanisme begitu
kental dalam surat Kartini kepada E.C Abendanon, 15 Agustus 1902.
Kartini menulis, “Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami
adalah nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum
kami. Dengan melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia.”
Tulisan Kartini jelas mengacu pada keyakinan bahwa tak ada hukum Tuhan,
yang ada adalah “kodrat alam”. Sebuah keyakinan yang pada masa lalu
begitu mengakar dan menjadi keyakinan dari organisasi-organisasi
bercorak Jawanisme-Kebatinan, seperti Taman Siswa, Tri Koro Dharmo, dan
Boedi Oetomo.
Apa yang menjadi dasar keyakinan Kartini, sesungguhnya adalah
landasan inti dari paham humanisme, yang tak lain merupakan doktrin
tertinggi dari Theosofi dan Freemason. Pramoedya kembali menuturkan
tentang sosok Kartini:
“Ia adalah seorang yang religius, tanpa berpegang pada bentuk-bentuk
keibadahan ataupun syariat. Jadi ia termasuk golongan Javanis Jawa, atau
golongan kebatinan, dimana Tuhan dipahami sebagai sumber hidup, yang
mengikat setiap orang dengan-Nya, tak peduli apapun agama yang
dianutnya, bahkan juga bagi si atheis sekalipun….ia (Kartini, red) dapat
menerima agama apapun, dan ia tidak dapat menerima pemutarbalikkan atas
agama apapun. (Hal: 260-261).
Sebagai catatan, Tuhan yang disebut sebagai sumber hidup yang
mengikat dalam keyakinan kebatinan Jawa, termasuk dalam pemahaman
Theosofi adalah Tuhan yang menyatu, manunggal dengan sang hamba (manunggaling kawula gusti).
Paham ini berkeyakinan, inti hidup seseorang adalah berbuat kebaikan,
sebagai wujud dari implementasi sifat Ketuhanan yang menyatu (imanen) dengan sang makhluk. Mereka menyebutnya sebagai pancaran ilahi, pletik Tuhan, dan dalam bahasa Inggris disebut dengan “god in being”. Karena itu, aliran kebatinan-Theosofi berkeyakinan, agama apapun, selama menebarkan kebajikan, maka pada hakekatnya sama.
Raden Mas Notosoeroto dalam “De Gedachten van R. A Kartini als Richtsnoer voor de Indische Vereeniging” sebagaimana dikutip Pram dalam biografi Kartini, menulis:
“Perasaan keagamaan Kartini nampak pada keteguhan imannya, dalam mana
ia terdidik. Tetapi suatu keteguhan yang berbarengan dengan pengertian
yang lembut, dimana sekaligus diberikan tempat yang luas bagi kebajikan
agama-agama lain. Penghargaan ini menyebabkan kalbunya tidak membeku
dalam dogma-dogma kaku, tetapi menyebabkan ia menjadi lebih kaya dan
membuat ia mengerti Quintessence atau inti setiap religi: Kebajikan dan
cinta sesama. Dari bagian kehidupan kalbunya ini kita dapat mengenal
garis-garis watak Kartini, yang menyebabkan ia menjadi permata
toleransi, kesadaran harga diri, dan penghargaan terhadap kebajikan yang
juga berasal dari orang-orang lain…” (hal.263)
Mr. Conrad Theodore van Daventer, tokoh Politik Etis yang juga
penggagas Kartini Fonds, menulis tentang apa sesungguhnya Tuhannya
Kartini. Daventer menulis dalam Majalah De Gids, September 1911, berikut ini:
“Kalau orang hendak tahu tentang Tuhannya Kartini, ya, dialah yang
Tertinggi tanpa batas, yang menyebabkan orang-orang Islam, Kristen, dan
Yahudi, bersaudara satu dengan yang lain, yang menyebabkan juga
orang-orang Brahma, bahkan juga orang kafir dijiwai dan bahwa kebajikan
dan cinta merupakan ketentuan-ketentuan yang terutama.Kepercayaan kepada
Tuhan itulah yang terutama baginya, keibadahan hanya soal tradisi.
Sebagai seorang yang terdiri secara Islam, ia (Kartini, red) ingin tetap
menjadi Islam, sekalipun ia tidak buta terhadap beberapa kelemahan
ajaran itu, karena bentuk kepercayaan itu baginya akhir-akhirnya adalah
soal kedua, dan setiap bentuk itupun punya kelemahan sendiri…” (hal.
263-264).
Van Daventer ingin menggambarkan bahwa yang terpenting adalah aspek
Ketuhanan Yang Satu antara setiap agama, yang disebut dengan aspek batin
(esoteris), sedankan soal ibadah lahir (eksoteris)
hanyalah tradisi yang berbeda-beda antar setiap agama. Keyakinan ini
juga sama persis dengan apa yang ditulis oleh Kartini dalam surat
tertanggal 31 Januari 1903, yang berbunyi, “Agama yang sesungguhnya
adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk sebagai Nasrani, maupun
Islam, dan lain-lain…”
Sejarawan Asvi Warman Adam dalam sebuah artikelnya berjudul “Agama Kartini”
menyimpulkan bahwa tak penting apa agama Kartini, yang penting adalah
gagasan dan ide dia tentang emansipasi. Pendapat ini tentu janggal,
karena agama dan keyakinan seseorang jika benar-benar dihayati dan
diamalkan sangat mempengaruhi pemikiran, perilaku, gagasan-gagasan, dan
lain sebagainya. Karena itu, sangat penting mengungkap lebih dalam
tentang agama dan keyakinan serta orang-orang yang berada di sekeliling
Kartini, karena dari latarbelakang itulah gagasan-gagasannya muncul dan
disebarluaskan.
Josephine Hartseen, sahabat masa remaja Kartini, seperti keterangan
yang ditulis oleh Pramoedya, adalah orang yang mengajarkan kepada
Kartini ajaran-ajaran tentang Theosofi dan spiritisme. Joshepine,
menurut keterangan Pram adalah anggota Theosofi. Sebagaimana juga
keterangan Ridwan Saidi dalam Fakta dan Data Yahudi di Indonesia,
yang menyebut Josephine sebagai orang Yahudi yang diplot untuk
mendekati Kartini. Sementara H.H van Kol, elit kolonial yang dalam
keterangannya disebut sebagai orang yang mengajarkan ilmu okultisme pada
Kartini, adalah sosok yang mendapat rekomendasi dari Stella
Zeehandelaar untuk mendekati Kartini.
Jadi, tentu ada kaitan antara agama dan latarbelakang Kartini dengan
gagasan-gagasanya selama ini, terutama tentang emansipasi. Namun sayang,
gagasan-gagasannya soal agama, Tuhan, dan kemanusiaan, tak pernah
diungkap dalam buku-buku sejarah di sekolah. Seolah, tak penting apa
agama dan keyakinannya, yang penting pemikirannya soal emansipasi.
Rakyat Indonesia dipaksa mengidolakan seseorang tanpa perlu mengetahui
bagaimana kepribadian dan latarbelakang orang tersebut. Tulisan ini
membuka ruang bagi siapapun untuk menyanggah dan menghadirkan data-data
dan fakta lain tentang sosok Kartinin. Tujuannya, agar sejarah tak lagi
samar oleh kabut kekuasaan!
Penulis bersedia rujuk, jika ada data dan fakta lain yang bisa
dipertanggungjawabkan terkait keyakinan Kartini soal agama, Tuhan, dan
kemanusiaan. Hal yang perlu dicatat, penulis tak pernah menyebut Kartini
sebagai sosok yang anti-Islam, namun penulis dengan tegas menyebut
Kartini sebagai sosok yang pemikirannya berseberangan jauh dengan akidah
Islam sebagaimana tercermin dalam surat-suratnya. Mengapa penulis
menganggap penting untuk mengetahui apa sesungguhnya latarbelakang
keyakinan Kartini? Karena Kartini adalah sosok yang dijadikan pahlawan
dan pejuang perempuan negeri ini. Sosok yang dijadikan panutan, tentu
harus benar-benar jelas tentang apa keyakinan dan latarbelakang
kehidupannya.
Adapun mengenai keterangan bahwa di akhir hayat Kartini kembali dalam
pangkuan Islam yang sesungguhnya, penulis ingin meminta bukti, adakah
di akhir hayatnya Kartini mengoreksi pemahamannya yang sangat kental
dengan keyakinan kebatinan-Theosofi? Adakah keterangan yang menyebutkan
bahwa Kartini tak lagi menganggap semua agama sama, Tuhan kita sama
dengan tuhan agama lain, neraka dan surga tidak ada, agama yang
sesungguhnya adalah kebajikan? Keyakinan inilah yang sungguh
berseberangan jauh dengan akidah Islam!. Lanjut kesini
*Penulis buku Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara dan Gerakan Theosofi di Indonesia, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.
sumber : http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/keyakinan-kartini-dalam-sorotan.htm#.UXXrYErCwkg
Title : KEYAKINAN KARTINI DALAM SOROTAN
Description : Oleh: Artawijaya * Ketika penulis melansir beberapa tulisan terkait Raden Ajeng Kartini, beberapa pembaca ba...