Oleh
: Budi Hatees
(Peneliti di Matakata Institute)
OPINI : HUKUM YANG TEGAK KE BAWAH : Hamdani adalah orang zaman sekarang, buruh pabrik
yang polos dan lugu. Ia tahu hak asasi manusia serba sedikit. Ia sedih melihat
perlakuan pemilik modal yang “memperbudak” pekerjanya. Tapi ia tak pernah tahu,
banyak orang yang tak suka terhadap segala upaya manusia dalam mendapatkan
haknya, terutama jika upaya itu berkaitan dengan investasi bisnis.
Hamdani tak punya rasa curiga dalam hidup
sekalipun orang menilainya suka protes. Sesungguhnya ia tak sedang protes, tapi
segala sesuatu yang disampaikan terlalu lugu kadang dikonsepkan orang sebagai
tindak protes. Dan pemilik modal, kelompok yang selalu akan diberi perhatian
khusus oleh pemerintah, tidak pernah suka dengan segala kepolosan yang berakhir
sebagai penelanjangan. Sebab itu, Hamdani yang polos dan lugu dijadikan
pesakitan sebagai tertuduh pencuri sandal di gudang pabrik tempat kerjanya.
Pengadilan pun menghukumnya 3 bulan kurungan pada januari 2002.
Kisah hidup Hamdani sangat menggemparkan. Di
zaman ketika publisitas diposisikan sebagai bagian dari propaganda politik,
derita Hamdani kemudian mengundang simpati banyak kalangan. Politisi
mengubahnya menjadi komoditas politik, kemudian di perdagangkan di pasar
politik nasional untuk mengkritisi buruknya cara elite penguasa dalam
menegakkan keadilan hukum. Inilah persoalan yang sangat mungkin, tidak akan
pernah selesai di negeri ini. Senantiasa ada ketidak adilan, ketimpangan, dan
senantiasa pula pesakitan pastilah mereka yang dianggap lemah. Hamdani, seorang
buruh yang memang lemah, kemudian mendapat dukungan publik. Kisahnya melambung
menjadi bahan diskusi dimana–mana, inspirasi bagi banyak orang untuk
mengkritisi penguasa.
Yang menarik kemudian, kisah hidup Hamdani
menginspirasi Dedi Setiadi membuat sinetron berjudul “Sandal Bolong untuk
Hamdani”. Kisah itu menjadi film televisi terbaik dalam Festifal Film Indonesia
2004, sekaligus mengukuhkan Dedi Setiadi sebagai sutradara terbaik, serta
pemeran Hamdani, Epi Kusnandar, sebagai actor terbaik. Tapi setelah itu kita
tahu, film yang sesungguhnya untuk melakukan propaganda soal buruknya wajah
hukum dan peradilan di negeri ini kepada orang ramai, ternyata tak membuat
kasus serupa berhenti.
Kita terenyak menyaksikan AAL, 15 tahun,
diinterogasi dan dipukul polisi dengan tuduhan mencuri sandal jepit milik dua
anggota Polda Sulawesi Tengah. Baiknya cara polisi bekerja dalam menemukan
tersangka, segenap keberanian AAL untuk menyangkal tuduhan dicopot satu
persatu. Dipreteli dengan sangat kasar hingga yang utuh pada dirinya memang
melakukan segala tuduhan itu. Itulah yang ditulis dalam berita acara
pemeriksaan (BAP) polisi, yang kemudian dikirim ke pengadilan. AAL diancam
hukuman maksimal 5 tahun penjara.
Dasar, memang, para penghukum di pengadilan pada
zaman sekarang, mereka tak membutuhkan otak untuk mengetukkan palu. Tidak
membutuhkan hati untuk menyikapi dakwaan. Sangat mungkin juga tidak membutuhkan
mata. Mereka hanya butuh palu itu. Bisa jadi mereka tak paham bahwa palu itu
akan merenggut kemerdekaan seseorang. Atau, mungkin, mereka tak paham apa itu
kemerdekaan. Atau, mungkin, mereka punya konsep kemerdekaan yang dirumuskan
sendiri sambil tertawa.
“Di rumah tahanan,” setidaknya begitu definisi
kemerdekaan bagi penegak hukum, “ada juga kemerdekaan yakni ketika narapidana
berkumpul, tertawa, dan mengorganisasi diri sebagai narapidana”.
Tentu saja kemerdekaan narapidana tidak keliru
dipahami sebagai kemerdekaan apabila konsep tentang kemerdekaan hanya sebatas
berserikat dan berkumpul, tertawa dan tersenyum. Kemerdekaan yang sesungguhnya
adalah sesuatu yang otonom dalam diri manusia. Kemerdekaan yang dilindungi
secara konstitusional.
Kemerdekaan Hamdani adalah kemerdekaan yang lain.
Kemerdekaan yang subtansial. Kemerdekaan manusia secara utuh, yang mendorongnya
bertanya secara lugu kenapa seseorang harus mendapat perlakuan “semau gue” dari
orang lain. Tapi bagi penegak hukum, kemerdekaan seperti itu terlalu lugu,
teramat idealis. Kemerdekaan bagi penegak hukum tak berbeda sejak zaman Orde
Baru sampai zaman sekarang: tergantung siapa yang memegang palu. Itulah yang memegang
kendali, pihak yang berhak menentukan, beberapa lama seseorang harus mendekam
di penjara.
Hanya
Milik Penegak Hukum
Kemerdekaan hanya milik penegak hukum, mengumpali
tangan mereka yang keras dan liat. Di sana
tak ada demokrasi sekalipun semua warga bangsa mengelu-elukan pentingnya
nilai-nilai demokrasi. Demokrasi tidak berati apapun bagi mereka, kecuali hanya
semacam cita-cita yang untuk mewujudkannya seseorang rela melawan hukum.
Orang-orang yang merindukan demokrasi itu, bagi penegak hukum, adalah mereka
yang pantas diganjar sesuai hukum karena tindakannya mengganggu keamanan dan
ketertiban.
Seperti Hamdani, kasus AAL mengundang simpati
publik. Semua orang membicarakannya di dalam setiap kesempatan. Semua orang
menunjukkan keprihatinan. Media mempublikasikannya, secara kontinyu. Tiap hari
selalu ada cerita baru seputar kasus AAL. Para
pengamat kembali memiliki batu loncatan baru untuk mengkritisi masalah penegak
hukum di negeri ini. Polisi pun jadi sorotan, diposisikan sebagai institusi
yang kekurangan sandal jepit.
Tapi, derita AAL ini justru semakin memperjelas,
betapa publisitas berada diatas segala-galanya. Di zaman sekarang, di dalam
euphoria demokratisasi yang hanya dipahami dari sisi menguntungkan
pribadi-pribadi, baik Hamdani maupun AAL, hanya bagian terkecil dari realitas
publisitas itu. Sebagaimana dalam budaya publisitas, mereka akan segera
dilupakan apabila ada fakta lain yang lebih menarik perhatian publik. Dan kasus
mereka, permasalahan keadilan hukum yang tak kunjung bisa ditegakkan, kembali
berlalu.
Kita kembali terenyak ketika nenek berusia 55
tahun, rasminah, divonis Mahkamah Agung empat bulan 10 hari. Seperti anjing
menggonggong, kafilah berlalu. Padahal, sudah banyak institusi yang
dikorbankan, yang dihukum publik karena Hamdani, AAL, Rasminah, dan banyak
lagi. Kita tidak tahu kenapa hukum hanya tegak ke bawah, ke rakyat jelata.
Sedang ke atas, senantiasa menjadi tontonan yang mengasyikkan seperti sebuah
sinetron. Tak tajam, tumpul, dan tak mampu menebas apapun. ***
Sumber
: Koran Analisa Halaman 25, Selasa 06 Maret 2012
Title : OPINI : HUKUM YANG TEGAK KE BAWAH
Description : Oleh : Budi Hatees (Peneliti di Matakata Institute) OPINI : HUKUM YANG TEGAK KE BAWAH : Hamdani adalah orang ...