Oleh : Ferhat
(Anggota FLP Aceh)
Perempuan itu menebalkan gincunya. Bibirnya merekah. Alis dihitam
melengkung sabit. Ia tersenyum sumringah. Menggerakkan badan di depan
cermin. Merendahkan sedikit bajunya. Sambil menatap jam, ia mengacak
rambut basahnya. Sudah pukul dua malam. Ia melirik ke pintu masuk.
Kosong.
Gelisahnya tak karuan. Tak biasanya akhir pekan sesepi
ini. Ia melongok keluar dari jendela. Menatap baris kursi panjang yang
tak rapi. Pekerjanya, para gadis muda di luar, hanya melongo. Sebagian
bergoyang mengikuti musik gegap. Asap rokok mengepul membentuk kabut
dari mulut-mulut mereka.
“Mengapa bisa sesepi ini? Sudah larut
pula,” ia bersuara sambil berdiri di depan pintu bilik mungilnya.
Gadis-gadis itu mengangguk pelan. Sebagian beranjak ke arahnya. Sebagian
tetap memilih duduk termenung ditemaram lampu.
Ia membenarkan
tali baju yang melorot, “Tak biasanya lelaki-lelaki itu ingkar, terlebih
di malam akhir pekan seperti ini.” Gadis-gadis di depannya mengangguk
pelan, “Kami sudah berdandan sejak sore tadi. Tak ada yang singgah.
Hanya pemuda mabuk yang sering menggoda.”
Cepat perempuan itu
melangkah. Melongok ke ujung jalan. Air gemericik terdengar dari sungai
kecil sebelah bilik. Jembatan melintang di atasnya. Jembatan penghubung
dua kota berbeda. Dan dari arah jembatan sana, kota seberang,
lelaki-lelaki itu sering muncul saban pekan. Kendaraan-kendaraan mereka
memenuhi jembatan pembatas kota. Riuh. Sesak. Menuju kemari. Seperti ada
yang menggebu-gebu kuat tak tahan dari tubuh mereka. Namun, tidak malam
ini. Senyap, sepi.
“Kalian apakan lelaki-lelaki itu pekan
kemarin, ngeh?!! Bikin mereka senang saja kalian tak becus!!” ia
menuding gadis-gadis pekerja didepannya. Mereka tertunduk pelan.
Mengigit bibir bawah ketakutan.
“Kami tak pernah membuat mereka
kecewa. Kami menemani mereka dengan baik...”, seseorang bersuara dalam
ketakutan. Ia gadis paling merah gincunya malam ini. Ia masih sedikit
risih dengan baju minimnya. Perempuan itu baru mengajaknya bergabung dua
minggu lalu. Mengaturnya selayak ia mengatur gadis-gadis lain.
Asap
rokok mengepul pelan. Perempuan itu melirik lagi jam di tangan kirinya.
Matanya tetap berharap di ujung jembatan. Hampir jam tiga malam, tak
seorang pun lelaki datang. Puntung rokok dibuang. Dilumat dengan ujung
sepatu high heels-nya. Angin malam mendera. Hawa dingin terbawa.
Mengibas tubuhnya yang minim. Melecut kulit kerutnya. Ia tak bergeming.
Sudah biasa saban malam.
“Kau! Kau! Kau!” ia menunjuk geram ke
beberapa gadis di depannya. Mereka terkesiap. “Kau bertiga, segera ke
sana! Lihat apa yang terjadi. Ajak lelaki-lelaki kota seberang itu
kemari. Goda mereka semampu kalian! Jangan kembali sebelum mengajak
mereka..”
Tiga gadis bertubuh mungil itu bersiap. Merapikan
rambut tergurainya. Membenarkan baju minimnya. Pelan mereka berjalan.
Menuju jembatan panjang penghubung kampung seberang.
Lima belas
menit berjalan, tiga gadis itu berbalik arah. Tergopoh-gopoh berlarian.
Menenteng sepatu high heels-nya. Suara mereka nyaring ketakutan.
Mengabarkan ada lampu-lampu pijar di ujung jembatan yang menyalak
terang. Menahan ratusan kendaraan milik lelaki-lelaki di sana.
Perempuan
itu ketakutan. Gadis-gadis muda itu berhamburan. Ia berusaha
menenangkan. Melongok ke ujung jembatan. Memastikan apa yang terjadi.
Benar! Ada cahaya terang menyalak di ujung sana. Cahaya tak bergerak.
Tertahan di bibir jembatan. Mobil patroli menutup muka jembatan. Di
belakangnya, ratusan cahaya juga menyala. Berkedip-kedip. Meraung
diikuti klakson-klakson bising. Perempuan itu geram. Gemeretuk menahan
emosi. Membenci para penahan-penahan itu.
Belum habis rasa
penasarannya. Dari balik rimbun semak pinggir sungai seorang lelaki
muncul. Tubuhnya kelelahan. Bajunya basah kuyup. Membentuk perut besar
miliknya. Rambut tipisnya tersibak. Ia menyeberangi sungai berarus pelan
di bawah jembatan.
“Kami dihadang! Kami dihadang!” lelaki
berperut besar itu menunjuk ke seberang sungai, kota tempat ia berasal.
Nafasnya tersengal-sengal. Ia bersandar di kaki meja, melepaskan
kelelahan. Gadis-gadis muda itu mendekat. Menyuguhkan air.
“Hhhffhh..saya dilarang untuk masuk kemari. Kami dirazia. Orang itu
menghadang dengan peraturan-peraturan, dengan qanun-qanun Terpaksa
tinggalin mobil di sana...” sambung lelaki itu.
Semenit
kemudian, dua lelaki muncul seketika. Stelan jasnya awut-awutan. Rambut
klimisnya tak lagi rapi. Sejumput rumput menempel di kerah baju
kemejanya, “Kami dilarang kemari. Mobil patroli metutup jembatan waktu
kami kemari.”
Lelaki lain muncul lagi di sudut berbeda. Badannya
tegap. Basah. Membentuk otot-otot di perutnya. Ia membantu menarik
lelaki di belakangnya yang hampir tenggelam. Gadis-gadis muda ketakutan.
Sebagian berhamburan. Menutup tubuh mereka dengan kain rapat. Takut
jika patroli-patroli itu akan meringkus mereka. Dinyalakan lampu agar
bilik tak lagi temaram. Terang. Dipadamkan musik gegap. Seketika suasana
berubah tak lagi remang.
Perempuan itu menenangkan. Ia berusaha
berjalan di atas jembatan. Memastikan keadaan di ujung sana. Mobil
patroli dengan sirene berdesing menutup bibir jembatan kota seberang.
Petugas berseragam menghalau lelaki-lelaki itu. Sebagian melongok ke
arah sungai.
“Macam mana ini, kita akan ditangkap mereka. Kami
tak mau dikurung, dicambuk. Kita harus lari.” Gadis-gadis itu berkumpul
di dekat perempuan itu. Matanya sembab. Perempuan itu menahan, “Tidak
perlu! Mereka tak akan berani kemari. Di sini bukan tempat mereka.
Tangan mereka tak mampu menguasai di sini,” ia menenangkan gadis-gadis
muda di depannya. “Tenang, tenang,” lanjutnya sambil menepuk bahu-bahu
mereka.
“Masih banyak lelaki-lelaki tak peduli hadangan ini.
Mereka nekat untuk berenang. Lihat itu..” ia menunjuk ke arah sungai.
Puluhan lelaki mengarungi malam. Mencari jalan pintas, meninggalkan
kendaraan mereka.
Para penghadang hanya melihat. Tak bisa berbuat
banyak. Menghela nafas kekalahan. Perempuan itu tersenyum picik.
Merapikan bajunya yang melorot, “Kerja kita akan tetap sama seperti
kemarin-kemarin. Jangan pedulikan para penghadang itu.”
Gadis-gadis
muda itu sesenggukan. Menghalau ketakutan. Dan menyeka airmata.
Perempuan itu merangkul. Menggiring kembali menuju bilik. Semenit
kemudian, lampu menyala terang. Menyilau dari mobil-mobil patroli milik
kota seberang. Bergerak mendekat. Cepat hingga menggebu menderu.
Tersadar, perempuan dan gadis-gadis muda itu berlarian. Ketakutan.
Jantung berdegup berlebihan. Jembatan berguncang. Mereka menutup
tubuh-tubuh mereka dari serangan lemparan. Perih. Bertubi-tubi hingga
memerah kulit mereka. Bau amis menyeruak. Lengket. Tersadar, telur-telur
busuk melumuri tubuh-tubuh mereka. Lanjut kesini
sumber : http://aceh.tribunnews.com/2013/03/31/lelaki-seberang-kota
Title : LELAKI SEBERANG KOTA
Description : Oleh : Ferhat (Anggota FLP Aceh) Perempuan itu menebalkan gincunya. Bibirnya merekah. Alis dihitam melengkung s...